gambar dari sini
Besok 17 Agustus. 14 tahun sejak lulus dari Lembah Tidar, dan 9 tahun sejak meninggalkan bangku kuliah. Ingat ingat jaman kuliah dulu, teman teman aktivis sangat hobi mempertanyakan makna kemerdekaan. Setiap peristiwa, kejadian dan event selalui dicarikan maknanya dengan arti kemerdekaan. SPP naik, berarti Indonesia belum merdeka. Presiden masih mbah Harto, berarti kita belum merdeka dari tekanan penguasa. Kurs rupiah anjlok dari 2,500 ke 14 ribu, tambah kagak merdeka lagi. BUMN rame rame dijual ke asing, penjajahan jenis baru.
Pada era sekarang ini, dimana euforia demokrasi ditunggangi partai partai Islam untuk berjualan ideologi moral, nampaknya keluhan dan pencarian makna kemerdekaan ini juga ditafsir ulang oleh para aktipis. Terutama sekali oleh para aktipis yang berada di pinggiran, yang menjadi clandestine dari para clandestine. Para ninja dari kaum burakumin, yang punya loyalitas tak terhingga pada tegaknya khilafah, namun merasa punya ruang gerak lebih luas dibandingkan para aktipis yang masuk ke partai, yang otomatis ruang geraknya dibatasi oleh paugeran dan norma norma demokrasi.
Hermeneutika dipakai, penafsiran kembali dilakukan, pemaknaan diarahkan pada nilai nilai ideologi yang diyakini lebih tinggi dibandingkan nasionalisme buatan manusia, sintesa pun dihasilkan dan sisi liar pun nampak sudah. Hasilnya jelas sekali. Ada bom dimana mana. Dan jeleknya dengan cara pengecut, tanpa pengakuan jelas siapa musuh mereka, siapa mereka dan apa yang diperjuangkan, dan apa yang mereka inginkan. Tidak ada pengakuan atau tanggung jawab terhadap pemboman yang terjadi yang mereka lakukan. Apalagi ketika organisasi islam mainstream lain dan banyak partai islam yang sudah mendapat kursi di parlemen ternyata justru tidak mendukung kegiatan mereka, bahkan beramai ramai menghujat habis habisan.
Jadilah yang mendukung mereka hanya akar rumput islamisme yang sepaham dan diam diam menaruh simpati pada mereka. Kita semua bersaudara, dan memperjuangkan kemerdekaan yang sama. Dimana Islam ya’lu wa yu’la alaik. Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Jadilah pemboman demi pemboman terus berlangsung. ada yang ditangkap, toh bom jalan terus. patah tumbuh, hilang berganti. Demikianlah perjuangan. Isy karima aumut syahidan.
Apakah sudah saatnya bagi orang Indonesia yang tidak memperjuangkan negara Islam harus menyerahkan tanah air dan tumpah darahnya pada mereka ? Para pejuang keadilan itu ? Apakah teriakan bung Tomo yang menjadi operator resolusi jihad dari para Ulama NU di masa itu untuk berjuang melawan penjajah belanda demi tegaknya sebuah Indonesia, negara baru yang tidak berasaskan Islam itu, harus kita akhiri dengan menyerahkan tanah kelahiran ini pada para pejuang syariat ?
Sebuah renungan untuk kita, Indonesia, akankah sunatullah itu berarti menjadi negara yang berwarna warni, polichromatic ataukah homogen, berwarna hijau semata ?
Btw, mengapa harus kita serahkan negara ini begitu saja pada para dpejuang syariat ? jawabannya sederhana, karena sudah mereka minta. Kalau negara ini belum menerapkan syariat Islam, maka para pejuang merasa hukum Islam dilecehkan, dan mereka akan berijtihad sendiri dengan membuat bom. Toh mereka merasa dirinya bukan teroris, yang teroris itu yang Amerika dan Israel. Bisa kita simak kesimpulan diatas, ada dalam baris demi baris wawancara detik dengan master dari para jihaders ini, ust. Abubakar Ba’asyir.
Rabu, 22/07/2009 12:29 WIB
Ba’asyir: Tidak Ada Aktivis Islam Menjadi Teroris
Bakar Ba’asyir menegaskan tidak ada aktivis Islam yang ikut gerakan teroris. Menurutnya, terlepas salah atau benar tindakannya, para aktivis itu hanya mereaksi tindakan-tindakan pemerintah dan negara-negara barat yang dinilai melecehkan Islam dan hukum Islam.
“Tidak ada aktivis Islam yang teroris. Mereka adalah pejuang Islam dengan itjihad mereka sendiri. Teroris yang sebenarnya ya Amerika dan sekutunya itu. Mereka hanya mereaksi serangan permusuhan terhadap Islam yang dilakukan musuh Islam,” ujar Ba’asyir kepada wartawan di Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Solo, Rabu (22/7/2009).
Selain itu Pemerintah Indonesia juga dinilai tidak punya nyali karena tidak mau menerapkan hukum Islam dalam pemerintahan di negara yang mayoritas Islam. Menurut Ba’asyir, para aktivis Islam yang disebutnya sebagai para mujahid itu akan dengan sendirinya reda jika hukum Islam diterapkan.
13/08/2009 – 15:54
‘Doa’ Abubakar Ba’asyir untuk Teroris
INILAH.COM, Jakarta – Abubakar Ba’asyir, pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo, membacakan doa bagi dua jenazah yang terlibat jaringan teroris pembom Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli. Bagi kalangan Islamis radikal, doa simbolis Ba’asyir itu menunjukkan sinyal bahwa Air Setiawan dan Eko Joko Sarjono dianggap sebagai ‘pelaku jihad’, bukan teroris. Mengapa?
Langkah Ba’asyir itu sungguh simbolis, seakan meneguhkan apa yang dinyatakan Orientalis Prof Bernard Lewis sebagai ‘bahasa politik Islam’. Di sini cap teroris oleh pemerintah dan publik dibaca secara berbeda oleh para Islamis. Sebab kelompok yang mengantar jenazah Air dan Eko melihat kedua sosok itu sebagai para ‘jihadis’, bukan teroris. Perbedaan cara pandang ini sangat laten dan itu menandai adanya persepsi yang berbeda secara diametral di antara masing-masing kutub.
“Kutub pemerintah memberikan stigma teroris bagi Air dan Eko, sedangkan kutub kelompok Muslim radikal menganggapnya ‘jihadis’. Ini memang salah satu problem yang menyulitkan langkah membasmi terorisme,” kata Noorhaidi Hasan PhD, peneliti Islam radikal dan dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
baca juga :
http://www.detiknews.com/read/2009/07/22/122955/1169335/10/-baasyir-tidak-ada-aktivis-islam-menjadi-teroris
http://inilah.com/berita/politik/2009/08/13/141642/doa-abubakar-baasyir-untuk-teroris/
http://suarapembaruan.com/News/2009/08/14/Editor/edit3.htm