Ada tiga jenis warga negara yang bisa menjadi alat timbangan bagi kita, termasuk jenis warga seperti apakah kita selama minggu terakhir ini :
- warga apatis, ciri cirinya : hanya sibuk ngobrolin gadged dan urusan kuliah
- warga kritis idealis : yang ramai ramai mendukung kpk dan hari ini kembali ikut bergabung dalam grup fesbuk “anti evan brimob”
- warga keluarga besar aparat : sedang galau, mau apatis atau ikutan kritis, di saat yang sama, kalau ngomong nyolot bisa bisa kena “trial by the press” kayak si evan, huahaha 🙂 gak ngebayangin anggota polisi yg ditugaskan di KPK, mereka mikirnya gimana yah ? :p
Tapi ternyata ada yang lebih apatis dibandingkan si warga apatis di atas. Lha, siapakah mereka ? Ternyata partai politik. Yang nggak sampai sebulan yang lalu sibuk audisi calon model di Cikeas. Lebih hermannnn lagi dengan yang terkasih ikhwan kita, yang mewakili partai di kursi menkominfo. Yup, ke mana kah suara bang Tifatul beserta gerbong PKS, mengapa mengambil jalan yang sangat disayangkan, memilih berdiam diri, tidak berkomentar sama sekali dalam ricuh KPK – Polri. Dan nggak cuma PKS saja, yang lain juga. Selama dua tiga hari ini papabonbon menunggu suara dari parpol. Halah, sepi. Nggak bisa diharapkan.
Jadi ketika hari ini bang Hok An, teman di milis AKI mempertanyakan hal yang sama, papabonbon ikut mengamini. Yep, pertanyaan kita sama, apakah partai politik telah gagal di Indonesia ? Di luar trial by the press, pembentukan opini penuh nuansa politik via media massa lho yah, dimana akhirnya makin tidak jelas arahnya menjadi bola liar. Tapi semua sebenarnya bermuara pada satu hal : “rakyat jelas jelas ingin hukum ditegakkan, korupsi diberantas”.
Jadi pertanyaan pribadi bagi papabonbon : bisa nggak sih partai politik itu menyuarakan aspirasi masyarakat secara tulus tanpa harus dibarengi insentif punya “kursi” dalam kabinet atau perlemen atau pemda ? dan hari ini sengaja aku catat di blog dan di fesbuk, atas diamnya PKS seribu satu bahasa, supaya aku bisa mengingat di kemudian hari.
Mungkin jawabannya adalah : Seharusnya bisa, dan sangat mungkin. Jadi kalau tidak bertindak, apa halangannya ? Bisa jadi takut dianggap membuat ricuh dan membuat persoalan makin blunder, mungkin juga mengganggap ini bukan masalah penting, atau bisa jadi dianggap bisa merugikan posisi partai, dus, bakalan bisa merugikan perjuangan umat Islam, padahal bisa mendapatkan jatah kursi di kabinet perlu perjuangan keras. Masa baru dilantik langsung jadi anak bandel ? Kan nggak sopan, bukan ?
Namanya partai politik, pastilah ada pertimbangan politik untuk bertindak. Bayangkan kalo sikap anti korupsi disamakan dengan membela Bibit-Chandra, padahal belum tentu keduanya bersih dari perbuatan yg dituduhkan. Sudah cukup objektif ada dua sikap dari persons PKS; HNW yg pasang badan menjamin Bibit-Chandra agar dibebaskan, dan ada Fachry Hamzah yg mengecam ulah unproporsional KPK sebelum ini. Sikap anti korupsi bukan bermakna mesti memilih ke satu pihak, tapi bersabar, mengamati, mengawasi proses hukumnya. Dan jgn lupa pada kemungkinan pengalihan isu. Gmn tentang Bank Century? Bgm tuduhan korupsi Rama Pratama dulu? Bgm tuduhan Teten Masduki dulu 2004 bahwa PKS jg menerima dana? Koq semua nggantung?
PKS berubah total, untuk suatu harapan yang hilang, untuk tahun 2014…….?????
Dengan adanya komentar diatas, jadi sebuah jeweran buat PKS. Makin kita kritis maka kita makin peduli dan masih berharap mereka tetap konsisten.
Saya juga berharap agar gerbong anti korupsi harus ada komando dari parpol yang notabene pemegang otoritas politik formal. Dan PKS masih bisa diharapkan untuk itu. Walopun beberapa kadernya seperti ‘jalan sendiri’… pecat dan keluarkan dari gerbong!!