Baca pertama kali tentang novel yang dijadikan film ini lewat resensinya si kunderemp ari narkaulipsy. Papabonbon, baru kemarin malam menuntaskan baca novel ini. Niat lho beli novelnya, beli pake uang sendiri. Nggak sekedar pinjam 🙂 Hahahaha …
Kemunculan filmnya di saat yang salah, karena bertepatan dengan launching Ayat Ayat Cinta. yah, nyosor deh. oh oh, papabonbon kan tidak bicara film. kita bicara novelnya. 🙂 Apalagi papabonbon jua belum lihat filmnya kok hyakakakaka 🙂

Novelnya lucu, sangat mengingatkan pada novel jomblo-nya Aditya Mulya. Namun lebih sarkastis dan muram. Somehow, cara guyonannya yang cerdas, slapstick, dan menukik dan membumbung cepat itulah yang mengingatkan pada jomblo. Amboi, dunia bisa dilihat dengan warna warni.
Suramnya guyonan novel ini sih disebabkan karena menambil sudut pandang seorang mahasiswa D.O. putus asa, keluarga yang kacau balau, kepercayaan diri yang sangat rendah, tanpa motivasi. Jadi ingat perumpamaan yang sering dipakai seorang abang TN2, Bono budi Priambodo, lack of determination. Uhmm, profil bang Bono yang ditulis di friendsternya malah cocok banget dengan gambaran novel ini. Ditampilkan dikit berikut ini. Si abang ini ajaib, namun kalau sudah pernah dekat sama dia, semua orang, yakin salut sama dia.
How nobody is Nobody? Almost got kicked out from high school due to chronic laziness and lack of determination, actually got kicked out from naval academy due to the same reasons, dropped out from law school due to the same reasons, got divorced due to the same reasons, got fired several times from various jobs due to the same reasons,… Slaves should have learned the Art of Nobodiness.
Hampir dikeluarkan dari SMA karena terlalu pemalas. Dikeluarkan dari Akademi TNI-AL karena pemalas dan bermental lemah. Sudah sebelas tahun kuliah di FHUI tidak kunjung lulus karena pemalas dan sering membolos. Diceraikan bekas istri karena malas bekerja dan akhirnya miskin. Dipecat dari berbagai-bagai pekerjaan karena pemalas dan kurang motivasi. Sekarang sakit-sakitan, menganggur, tidak punya pekerjaan tetap, gendut, mengalami kebotakan di dahinya.
Gambaran gambaran suram, buram. dan lagi lagi dari sudut pandang orang biasa yang harus putus asa. Ajaib, ketika Jemi, tokoh dalam novel ini, bisa melihat gambaran dunia yang lebih luas dari sosok Dayat. Bahwa dunia tidak akan hancur berkeping keping jika pun jemi harus D.O. Padahal dulunya Jemi benar benar sosok yang tidak punya tujuan hidup. Bisa dilihat bagaimana Jemi memahami dirinya dengan cara yang unik.
Jemi, si mahasiswa abadi, dari kecil nggak pernah punya cita-cita. Waktu masih SD, temen-temennya ada yang pengen jadi guru, pengusaha, malahan ada yang pengen jadi tabib. Jemi nggak pengen jadi apa-apa.
“Kamu harus punya cita-cita, Jemi,” kata gurunya. “Semua temen-temenmu punya cita-cita. Agnes ingin jadi guru, dan Susi ingin jadi pengusaha seperti bapaknya. Kamu ingin jadi apa?”
“Baiklah kalo memang harus punya cita-cita. Saya pengen jadi suaminya Susi!”
“Kamu nggak boleh bercita-cita jadi cowok matre, Jemi! Pikirkan lagi!”
Itu kali pertama dan kali terakhir Jemi mikirin cita-cita. Sampe dewasa, dia tetep lebih suka membiarkan hidupnya mengalir kayak banjir—nyusahin banyak orang. Dia ikuti kemana saja angin meniupnya. Niatnya kuliah di jurusan Sastra Rusia, malah terdampar di jurusan Akuntansi. Tiap kuliah, kerjaannya cuma menggambar pohon dan pohon. Catatan kuliah jadi pohon, buku jadi sejuk, dia jadi bodoh.
Mohon maaf juga, resensi filmnya justru menggambarkan kalau film ini seolah olah kisah tidak berguna yang nyerempet nyerempet seks. Malas deh !
Baca juga :